Perjalanan musik Keroncong hingga bisa seperti sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Selain memiliki keunikan sendiri berupa campuran budaya Timur dan Barat, tentunya ada beberapa orang hebat di belakang musik ini. Pekan Komponis Indonesia (#PKIna) akan menampilkan mereka yang turut andil membuat musik Keroncong dapat bertahan hingga sekarang ini.

Victor Ganap
Walaupun tinggal dan menetap di Yogyakarta, namun Victor Ganap tetap tidak dapat melepaskan diri dari musik Keroncong dan kampung halamannya, Jakarta. Victor melakukan penelitian pada komunitas Kampung Tugu, Jakarta Utara, mengenai musik Keroncong yang telah selesai pada tahun 2006 dan diberi judul “Kerontjong Toegoe: Sejarah Kehadiran dan Musiknya Di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara”.Saat ini Viktor menjabat sebagai guru besar musikologi Jurusan Musik FSP-ISI Yogyakarta dan aktif mengajar di sejumlah universitas, seperti Jurusan Musik dan Pendidikan Sendratasik, FSP-ISI Yogyakarta dan program pascasarjana ISI Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Unnes Semarang, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, dan STAKPN Ambon. Beliau pun pernah memperoleh penghargaan Satyalancana Karya Satya 20 Tahun dan Paul Harris Fellow of The Rotary Foundation (2001).

Dian HP
Komponis jebolan Institut Kesenian Jakarta bidang piano ini berkesempatan bekerja sama dengan nama-nama besar dan penting di dunia seni Indonesia. Dian HP (Hadipranowo) tercatat pernah meraih sejumlah penghargaan, seperti Piala Festival Sinetron Indonesia (FSI) sebagai penata musik sinetron terbaik (Sepanjang Jalan Kenangan, 1997), Penata Musik dan Produser Album Anak-Anak Terbaik Anugerah Musik Indonesia (2003), dan Penata Musik Film Terbaik FFI (Love is Cinta, 2007). Keseriusannya bermain piano membawa Dian HP merasa perlu mendalami dengan belajar pada Madame Olga di Moskow (1972-1976), juga di Bonn (Jerman, 1981), Bad Godesberg Music Schule (1982), piano Jazz pada Indra Lesmana, dan Didi AGP serta Haryo Yose Guyoto. Sebagai seorang yang ikut peduli dengan musik Keroncong, ditemani rekannya, Ubiet, Dian HP mendirikan Taman Musik “Dian Indonesia” dan grup “Ubiet Kroncong Tenggara”.

Sundari Soekotjo
Sundari Untinasih Soekotjo adalah penyanyi keroncong yang terkenal dengan nama Sundari Soekotjo. Namanya tidak hanya terkenal di Indonesia saja namun Sundari juga telah sering tampil membawakan musik Keroncong di Amerika, Singapura, Malaysia, Belanda, dan Jepang. Kariernya dalam dunia musik Keroncong dimulai sejak tahun 1978 ketika ia berhasil mejadi finalis Festival Keroncong Remaja, lantas juara kedua Festival Bintang Radio dan Televisi tahun 1979 dalam kategori Keroncong Dewasa Wanita (14 tahun), dan juara pertama Bintang Radio TVRI tahun 1983. Pada tahun 2002 Sundari Soekotjo mengeluarkan album Keroncong asli pertamanya dengan judul “Ingkar Janji” dalam format DVD dan memperoleh penghargaan MURI. Berkat album ini pula ia dinobatkan sebagai penerima Keroncong Award 2002 dari Yayasan Bina Suci dan Radio Republik Indonesia. Pada tahun 2011, ia kembali memperoleh penghargaan Hadiah Seni dari pemerintah Republik Indonesia, serta AMI Awards 2011 dan 2012 untuk kategori Penyanyi Solo Wanita Terbaik.

Lantun Orchestra
Lantun Orchestra diambil dari dua kata: ‘lantun’ atau melantunkan yang sama artinya dengan menyanyikan dan ‘orchestra’ yang merupakan sebutan untuk ensemble musik berformat besar, yang di dalamnya terdiri dari banyak musisi. Musik Lantun Orchestra terinspirasi oleh musik tradisional, khususnya Betawi, yang dipadukan dengan jazz. Konseptor grup musik ini adalah Chaka Priambudi, lulusan IMDI (Institut Musik Daya Indonesia) yang pernah tergabung di ILQ (Indra Lesmana Quintet). Pekan Komponis Indonesia 2014 mempertemukan Lantun Orchestra dengan penyanyi khas keroncong, Sundari Soekotjo.

Ubiet
Nya Ina Raseuki atau yang akrab disapa Ubiet adalah penyanyi berdarah Aceh yang saat ini aktif mengajar Etnomusikologi di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta (sejak tahun 1993). Ubiet pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Pendidikan Seni Nusantara (2002-2006) dan anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-2009. Gelar Master of Music dalam Etnomusikologi diperolehnya dari University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat; serta gelar doktor dari universitas yang sama lewat program beasiswa. Sebagai penyanyi, Ubiet menjelajahi berbagai genre musik, dari musik populer jazz dan pop, kontemporer, hingga tradisional. Sejumlah pencapaian telah diraihnya, seperti Leland Coon Fellowship University of Wisconsin-Madison (1992-1993), The Ford Foundation Fellowship (1998-2008), Center for Southeast Asian Studies Fellowship, University of Wisconsin Madison (1998-1999), Asian Cultural Council Fellowship-New York (1999-2000), dan Beasiswa Unggulan Departemen Pendidikan Nasional (2008). Sebagai musisi, Ubiet telah mengeluarkan banyak album, seperti Commonality, The New Jakarta Ensemble, Siam Records, New York (1997), Populer Archipelagongs, Warner Music Indonesia, (2000), Music for Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo, Musikita, Jakarta (2006), Two Worlds dan Rhythms of Reformation (2006),sertaUbiet Keroncong Tenggara, Ragadi, Music, Jakarta (2007).

Keroncong Tugu Cafrinho
Keroncong Tugu adalah cikal bakal lahirnya genre musik keroncong Indonesia. Tahun 1925, secara terorganisasi terbentuklah sebuah kelompok Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe – Anno 1661 yang didirikan oleh generasi pertama Joseph Quiko (1925-1935). Setelah melewati waktu yang cukup panjang, Keroncong Tugu mengalami pergantian kepemimpinan orkes. Pemimpin saat ini, Guido Quiko (1991-sekarang) adalah anak Alm. Samuel Quiko, generasi ketiga dari Keroncong Tugu asli. Sebagai penerus, Guido tidak ingin Keroncong Tugu kehilangan identitas dan harus ada generasi baru. Baginya, pelestarian yang ia lakukan adalah tetap menjaga musik Keroncong Tugu seperti sediakala. Grup ini memiliki 9 pemain yaitu Guido Quiko (vocal/melodi), Tetty Supangat (vocal), Nining Yatmin (vocal), Winarno (biolin), Yunus (contra bass), Santana (celo), Andy (rebana), Ival (Frunga), dan Sesar (rhytm gitar).

Ubiet Kroncong Tenggara
Musik keroncong menyimpan kekayaan yang selalu bisa digali dan diperbaharui. Hal itu dipercayai oleh Ubiet Kroncong Tenggara, sebuah proyek musik yang digagas pada tahun 2006 oleh Ubiet, Dian HP, Riza Arshad, dan sejumlah musisi Indonesia dari berbagai latar belakang musik. Kerjasama ini menggarap sebuah rekaman musik keroncong baru. Ubiet Kroncong Tenggara meluncurkan album perdananya pada tahun 2007. Nama ini diharapkan dapat mencerminkan keterbukaan wilayah “tenggara”—posisi Nusantara dalam peta—dalam menerima dan mengolah pengaruh dari berbagai ragam musik dunia. Demi melahirkan musik dengan cita rasa dan inspirasi baru, Ubiet Kroncong Tenggara mengadopsi berbagai variasi musik, sebut saja tango, jazz, melayu, pop, dan klasik. Meski bervariasi, Ubiet Kroncong Tenggara tetap mempertahankan elemen musik keroncong, seperti ritme cak-cuk yang dimainkan pada ukulele dan mengeksplorasi berbagai unsur musikal, instrumen akordeon, kendang, celo, flute, saxophone, dan bass elektrik, serta tentu saja diperkuat dengan vokal. Saat ini, Ubiet Kroncong Tenggara beranggotakan sembilan orang yaitu Ubiet (vokal), Dian HP (akordeon), Riza Arshad (akordeon), Dony Koeswinarno (flute, saksofon), Dimawan Krisnowo Adji (celo), Arief Suseno (ukulele-cak), Maryono (ukulele-cuk), Adi Darmawan (bas elektrik), dan Jalu Pratidina (kendang Sunda, perkusi).

Altajaru Ensemble
Sound Expression menjadi dasar pemikiran hadirnya Altajaru Ensemble, komunitas musik yang mengembangkan musik tradisi Indonesia, seperti musik dari Minangkabau, Betawi, Aceh, dan Melayu. Bagi Altajaru Ensemble, bunyi adalah inspirasi. Untuk mengapresiasi bunyi tersebut, Altajaru Ensemble berusaha mencari, menata, dan memfungsikan bunyi lewat karya musik. Pada tanggal 9 Mei 2008 lalu, Altajaru Ensemble menggelar konser tunggal Sound Expression di Condet, Jakarta Timur. Altajaru sendiri merupakan singkatan dari “Alam terkembang jadi Guru”, sebuah falsafah Minangkabau yang bertujuan agar selalu belajar dari alam dengan tidak membedakan suatu etnis tertentu. Didirikan oleh Anusirwan, komposer kelahiran Harau (Sumatera Barat) yang menamatkan pendidikan karawitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar dan magister Penciptaan Seni di Institut Kesenian Jakarta.